Ngaji dari Ahmad Dahlan III: Sebab Manusia Menolak Kebenaran

Manusia secara asasi memiliki potensi khas yang melekat (built-in) semenjak kehadirannya di alam dunia. Potensi itu dinamakan akal dengan kemampuan utamanya adalah berpikir. Bahkan tidak hanya berpikir, manusia satu-satunya makhluk yang mampu bernalar. Bernalar lebih advance dibandingkan berpikir. Karena bernalar adalah berpikir secara logis dan analitis. Berpikir belum tentu bernalar, tetapi bernalar pasti berpikir.

Kegiatan bernalar yang diupayakan manusia sepanjang keberadaanya di dunia bertujuan untuk meningkatkan kehidupan dan melestarikan eksistensinya. Namun, tidak hanya itu, bernalar adalah instrumen penting dan asasi manusia dalam memperoleh kebenaran. Kebenaran yang diperoleh dari kegiatan bernalar itu yang kita namakan dengan ilmu pengetahuan. Produk kebenaran bernama ilmu pengetahuan itu digunakan manusia untuk mencapai kemajuan dalam hidupnya.

Keterangan di atas menegaskan bahwa kebenaran adalah kebutuhan esensial bagi manusia. Ilmu pengetahuan sebagai bentuk kebenaran menjadi kebutuhan yang tidak bisa dipisahkan dari keberlangsungan hidup manusia. Manusia tidak akan mampu mempertahankan eksistensi hidupnya tanpa dituntun oleh kebenaran. Manusia membutuhkan ilmu pengetahuan sebagai garansi bagi pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan kualitas hidup manusia.

K.H. Ahmad Dahlan memberi perhatian besar tentang hajat manusia terhadap kebenaran. Kiai Dahlan merujuk salah satu istilah dalam Al-Qur’an yang menerangkan tentang kebenaran, yaitu al-haqq. Kata Kiai Dahlan, al-haqq adalah kebenaran yang diperoleh manusia sebagai hasil dari ilmu pengetahuan. Tidak hanya itu, al-haqq adalah kebenaran dari ilmu pengetahuan yang lantas dijadikan dalam amal perbuatan atau amal saleh. Kebenaran atau al-haqq bagi Kiai Dahlan adalah ilmu sekaligus amal. Ilmu amaliah sekaligus amal ilmiah.

Lebih lanjut, Kiai Dahlan menerangkan bahwa kebenaran hendaknya dijadikan tujuan manusia. Manusia hendaknya tidak berhenti, merasa puas, dan merasa paling benar sehingga memutuskan untuk tidak berupaya mencari kebenaran baru. Kebenaran hendaknya selalu dijadikan komitmen dan pedoman oleh setiap manusia dari waktu ke waktu. Berpegang teguh pada kebenaran sesungguhnya adalah kunci bagi manusia untuk bersatu dan tidak bercerai berai. Abai terhadap kebenaran, apalagi karena sudah merasa benar, adalah hal yang makin menjauhkan dari persatuan antarmanusia.

Watak manusia di antaranya adalah adanya perasaan dan pikiran egoistis dalam bentuk “merasa benar”, “paling benar”, atau “merasa telah benar”. Hal ini merupakan bentuk penyakit dalam mencari kebenaran. “Sudah menjadi kebiasaan manusia,” kata Kiai Dahlan, “akan menjadi gembira apabila mereka dapat memahami, melaksanakan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh gurunya dan sejalan dengan teman dan pikirannya sendiri dan hal yang demikian ini akan dipertahankan erat-erat lahir-batin.” Kengganan mencari kebenaran terutama akibat merasa telah cukup dengan kebenaran yang dimiliki, menjadi tembok penghalang dalam mencari kebenaran.

Watak lain manusia dalam kaitan dengan upaya mencari kebenaran, menurut Kiai Dahlan, adalah adanya perasaan dan pikiran “segan dan tidak mau menerima hal-hal yang kelihatannya baru dan berbeda dengan apa yang telah dijalani selama ini. Karena mereka menyangka bahwa barang yang kelihatannya baru tersebut akan mendatangkan kecelakaan dan kesusahan walaupun jelas dan nyata bahwa orang yang mengerjakan sesuatu yang baru tersebut memperoleh kesenangan dan kebahagiaan.” Uraian Kiai Dahlan ini mengajarkan bahwa seorang pembelajar hendaknya memiliki dua hal penting, yaitu kelapangan dada dan keterbukaan pikiran.

Secara teknis dan taktis, Kiai Dahlan mengungkapkan lima sebab manusia enggan atau menolak kebenaran. Pertama, sebagian besar karena bodoh. Bodoh, atau dalam istilah lain jahil, tidak secara sempit dimaknai kurangnya kepintaran. Lebih dari itu, bodoh atau jahil adalah sikap yang tahu tentang sesuatu yang benar tetapi menolaknya. Jika bodoh karena kurang kepintaran, bisa diatasi dengan mendidik dan mengajar. Tetapi bodoh karena menolak kebenaran lebih susah diatasi. Karena berkaitan dengan sikap, karakter, dan mental.

Kedua, karena tidak cocok dengan orang yang membawa kebenaran. Ada dua hal yang memengaruhi sikap dan tindakan seseorang, yaitu cinta (philatos) dan benci (neikos). Jika cinta memberi dorongan untuk menerima dan melakukan sesuatu, sebaliknya benci dapat menjadi alasan untuk menolak dan tidak melakukan sesuatu. Perasaan cinta/benci terhadap sesuatu atau seseorang cukup untuk menjadi motivasi seseorang untuk menerima/menolak kebenaran. Meletakkan cinta dan benci dalam kaitan dengan kebenaran secara proporsional tidaklah perkara mudah. Pada titik inilah, perasaan emosional hendaknya mampu dikendalikan oleh pikiran rasional.

Ketiga, mempunyai kebiasaan sendiri sejak nenek moyangnya. Mempelajari sesuatu yang baru, mendapatkan kebenaran di ujungnya, lantas menjadikannya sebagai ketetapan hati tidaklah semudah membalik telapak tangan. Salah satu kendalanya adalah adanya pikiran, tindakan, dan kebiasaan lama yang telah menjadi adat dan melekat. Adanya kekhawatiran tentang keburukan, kesusahan, dan risiko saat menerima kebenaran baru menjadi kendala mental (mental block) yang mengadang. Dalam situasi seperti ini, kesabaran dan kehati-hatian penyampai kebenaran menjadi kualitas yang penting dimiliki.

Sebab keempat, adalah merasa khawatir berpisah dari sanak saudara serta teman-temannya. Dan sebab kelima, yaitu merasa khawatir kehilangan kemuliaan, pangkat, kebesaran, kesenangan, dan lain sebagainya. Dua sebab orang menolak kebenaran ini erat berkaitan dengan perasaan takut (khauf) yang berpotensi dirasakan setiap manusia.

Kisah pada masa awal-awal dakwah Nabi memberi pelajaran kepada kita semua tentang hal ini. Bagaimana sikap pembesar dan masyarakat Quraisy yang enggan mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw dan meninggalkan ajaran nenek moyang, meski mengakui Nabi sebagai pribadi yang baik dan terpercaya kualitas individunya (al-Amin), karena adanya ketakutan kehilangan kedudukan, kehormatan, dan jabatan yang telah dinikmati.

Kontributor: Ahmad Syauqi Fuady

banner_event3
Facebook
X
LinkedIn
WhatsApp
Threads