Pilpres, Pilgub, Pilbup, Pilkades merupakan agenda periodik yang tak dapat dihindari di Indonesia yang memilih demokrasi sebagai sistem kenegaraan Republik (kekuasaan rakyat). Jalan yang sementara diyakini untuk menyelesaikan masalah kepemimpinan di setiap level ini, meski dalam prakteknya banyak celah (terutama pada sisi institusinya) yang seringkali belum mampu bertindak obyektif, karena kuatnya kekuasaan yang ada (Kolaborasi Harta, Tahta, Wanita).
Praktek kekuasaan satu dekade di Bojonegoro (2017-2023) semisal, betapa praktik penguasa lebih dominan dari pada pemimpin, di satu sisi melahirkan kekuasaan kuat tak tertandingi, hingga hampir saja membunuh demokrasi itu sendiri. Sementara pada sisi lain rakyat sekedar dijadikan bumbu pemanis, bahkan kelompok lain (minoritas) termarjinalkan.
Kekuasaan rakyat, jika ini yang kemudian dianggap mewakili suara Tuhan dalam perspektif demokrasi. Pertanyaan kemudian adalah rakyat yang seperti apa? Rakyat yang miskin dengan pendidikan minim, tentulah bukan satu-satu pemilik kekuasaan. Disinilah keberadaan organisasi yang didalamnya kumpulan orang-orang cerdas seperti Muhammadiyah (klaim sementara) memiliki tanggungjawab moral untuk memberikan pencerahan kepada warganya (umatnya) bagaimana sesungguhnya memilih pemimpin yang baik untuk periodesasi lima tahun kedepan, atas dasar analisis sosok pemimpin Bojonegoro kedepan. Bukan sekedar “anut grubyug” kepada pilihan mayoritas “karena mayoritas belumlah alasan kebenaran”.
Meski “Jumlah warga muhammadiyah minoritas” dianggap tidak mampu mewarnai, apalagi menang. Tetapi paling tidak kumpulan orang cerdas ini dapat menyiapkan bumbu masak, meraciknya, hingga menjadi sajian yang mampu mensejahterakan masyarakat Bojonegoro, mengentaskan dari kemiskinan.
Tentu ini bukanlah pekerjaan mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Bukankah komunitas ini telah terlanjur menyandang gelar “berkemajuan?” Dan lurusnya barisan bukankah tidak sekedar dalam sholat?
M. Yazid Mar’i
