“Felix qui potuit rerum cognoscere causas.”

Kalimat di atas diambil dari bahasa Latin yang dipopulerkan oleh sastrawan Romawi

Bernama Publius Vergilius Maro, dikenal dengan Virgil. Kalaimat itu berarti, kurang lebih, “Berbahagialah, mereka yang dapat mengerti sebab sesuatu.” Kata “mengerti” dan “sebab sesuatu” sengaja saya tebalkan, karena menjadi fokus tulisan ini. Kunci kebahagiaan ada dua: Mengerti/mengetahui dan memahami konteks atau kausalitas sebab-akibat.

Mengetahui atau mengerti itu sering dimaknai secara general. Bahwa setiap makhluk yang berakal dan memiliki fisik yang normal memiliki potensi untuk mengetahui sesuatu. Hasil dari proses mengetahui ini disebut pengetahuan yang berisi informasi dari suatu obyek. Segala

pengetahuan yang diperoleh ini dapat berisi informasi yang benar/salah, baik/buruk, dan bermanfaat/tidak. Intinya segala informasi bertendensi sebagai pengetahuan. Sekali lagi, sifatnya general dan berada di permukaan.

Nah, pengetahuan ini dapat naik levelnya jika digunakan sebagai resources dalam penyelidikan lebih mendalam dan mendetail. Informasi yang didapat dapat dijadikan sebagai data untuk pengujicobaan dan pengkajian lebih lanjut. Hal ini yang kita kenal sebagai ilmu. Ilmu lebih mendalam dari pengetahuan. Dan, ilmu lebih khusus dari pengetahuan.

Aspek khusus dari ilmu itulah yang dimenal sebagai kausalitas. Artinya, setiap ilmu dibangun dalam skema sebab-akibat yang khas dan tertentu. Konklusi teoritik dalam sebuah ilmu lahir dari premis dan sebab khusus. Konsekuensinya, jika premis atau sebab khususnya berubah, maka kesimpulan teoritiknya akan ikut berubah. Prinsip ini yang dikenal sebagai falsifikasi. Bahwa, sebuah teori atau ilmu itu tidaklah mutlak dan final kebenarannya, tetapi sejak mula berpotensi untuk salah. Teori itu benar sampai bisa dibuktikan kesalahannya. Pembuktian kesalahan teori artinya mencari sebab kausalitasnya.

Terkait kausalitas itu penting dicatat. Karena memahami ilmu tidak cukup hanya memahami akibat atau simpulan akhir. Tetapi harus paham sebab atau premisnya. Mengapa? Karena berkaitan dengan ketepatan dan kesesuaian. Kesalahan dan ketidaktepatan dalam memahami sebab/premis akan cenderung menghasilkan simpulan yang keliru.

Prinsip ini penting dalam belajar. Bahwa dalam belajar itu tidak selayaknya mengambil prinsip “copot-pasang” dari satu pendekatan dengan pendekatan lain atau dari satu cara dengan cara lain. Belajar itu perlu dan penting untuk memahami konteks, sebab, dan tahapan mana yang telah ditempuh, sehingga outputnya tepat.

Berdasarkan hal itu, maka ciri utama dalam aras ilmu, salah satu ciri penting adalah menerima kebenaran sebuah teori sambil memiliki keraguan atasnya. Dua sisi dari sekeping mata uang. Tidak ada fanatisme mutlak dalam pendekatan ilmu. Sifat fanatik berarti antiilmu atau antisains. Fanatisme adalah perilaku yang tidak sesuai dengan hakikat ilmu.

Sekarang, kenapa bahagia mensyaratkan ilmu dan pengetahuan, memahami mendalam dan mengetahui. Jawabannya tentu karena pilihan sikap, kebijakan, perkataan, tindakan, dan perilaku yang benar lahir dari pemahaman dan pengetahuan yang tepat. Ilmu dan pengetahuan adalah gizi nonfisikal yang mempengaruhi langgam fisik yang ditampilkan oleh manusia.

“Sebagaimana tubuh manusia yang diberi gizi berupa makanan, akal manusia juga perlu diberi gizi yang baik. Gizi bagi akal manusia adalah ilmu,” begitu wasiat Kiai Dahlan dalam Tali Pengikat Hidup, beberapa saat sebelum wafatnya.

banner_event3
Facebook
X
LinkedIn
WhatsApp
Threads