Muhammadiyah di Bojonegoro berkembang dari arah timur, yakni kawasan Sumberejo pada tahun 1947 melalui kegiatan santunan anak yatim yang menjadi embrio berdirinya panti asuhan Muhammadiyah di kawasan tersebut. Tokoh-tokoh yang memiiki andil dalam kegiatan ini ada H. Sahlan, H. Basuni, Subkhi Ali, H. Abdullah Siddiq, H. Abdullah Hamid, H. Nurhadi, H. Slamet, H. Thohir, dan didukung oleh generasi muda yakni Jaelan, Helmi, dan Maksum.
Keberadaan Muhammadiyah di Sumberejo sangat krusial dalam penyebaran gerakan Muhammadiyah di kawasan lain di Bojonegoro, sebut saja pada tahun 1953 mulai muncul gerakan modernis di kawasan Sukosewu, lebih tepatnya di dukuh Sepat dan dukuh Mojoroto, Desa Duyungan (Dahulu termasuk Kecamatan Kapas). Modernisasi ini dikenalkan oleh Edris dan kemudian diteruskan oleh Nursalim. Meski demikian, Muhammadiyah Cabang Sukosewu baru resmi berdiri pada tahun 2001 dengan ketuanya yakni Ridwan, S.Ag. dan dibantu oleh Sudarko A.Ma.
Secara organisasi, Muhammadiyah di Bojonegoro awalnya berbentuk pimpinan cabang sebagai bagian dari wilayah kerja kerasidenan yang meliputi wilayah Tuban, Bojonegoro, dan Lamongan. Namun, melalui santunan anak yatim dan acara khitanan di kawasan Sumberejo sebagaimana disebutkan di awal menjadikan berdirinya gerakan Muhammadiyah di kawasan Sumberejo yang diprakarsai oleh Mashudi yang merupakan pemuda asli Bojonegoro. Pada tahun tersebut juga didirikan Madrasah Ibtidaiyah di kawasan Sumberejo dan Kapas. Mashudi pernah aktif dalam kegiatan kepanduan HW di Palembang dan menjadi anggota KNI Pusat, serta anggota konstituante.
Pada tahun 1950, Mashudi pindah dari Sumberejo ke Kota Bojonegoro dan mendirikan taman kanak-kanak (Frobel School) yang terletak di Jl. Kudusan (kini letaknya di barat Markas Kepolisian Wilayah (Mapolwil) Bojonegoro). Beliau mendirikan sekolah ini dibantu oleh tokoh lain seperti Permadi Permodiharjo, Sukarno (Yang biasa dijuluki Pak Karno Mujaer), Abu Arifiani (Direktur PGAP Negeri), Abdurrahim, Abdulfatah dan guru-guru PGAP Negeri seperti Said Marzuq, Wajihuddin, dan Damiri. Pada kisaran tahun yang sama juga didirikan SD Muhammadiyah di beberapa kecamatan seperti Sumberejo, Kapas, Kedungadem, Sugihwaras, dan Bojonegoro. Di tahun ini juga Muhammadiyah Bojonegoro secara resmi berbentuk organisasi.
Pada tahun 1962-1970, terdapat kader HW yang bernama Tamsyi Tedjo Sasmito yang menjabat sebagai Bupati Bojonegoro. Dia memberikan dorongan, peluang, dan bantuan bagi pengembangan Muhammadiyah di Bojonegoro. Tamsyi Tedjo menjabat sebagai bupati sejak tahun 1960 sampai dengan 1968. Dalam masa kepemimpinannya, disebutkan oleh Hasan Anwar “Tamsy Tedjo Sasmito mempunyai pendirian teguh. Tidak ingin mencampurkan kepentingan organisasi dan kepentingan pemerintah”. Masa kepemimpinan Tamsy Tedjo sebagai bupati berbarengan dengan periode kepemimpinan Mashudi dan Abu Arifaini. Setelah menjadi bupati hingga tahun 1968, Tamsy Tedjo dilirik oleh pimpinan di Jatim dan diangkat sebagai residen atau pembantu gubernur saat itu. Meski menjadi seorang Residen, Tamsy Tedjo tetaap tinggal di kawasan Bojonegoro Kota. Lebih tepatnya di kawasan selatan alun-alun.
Pada tahun 1965, lebih tepatnya pada masa kepemimpinan Machfud Muharrom, aktivitas Muhammadiyah masih berjalan dari rumah ke rumah karena belum memiliki kantor tetap. Akan tetapi, secara keorganisasian dan lembaga sudah berjalan dengan baik, ditunjukkan dengan mulai banyaknya cabang yang berdiri di berbagai kawasan seperti Sumberejo, Kapas, Balen, Sugihwaras, Baureno, Kanor, maupun Bojonegoro. Kegiatan yang dilaksanakan tidak jauh dari pengajian yang mengajarkan keteladanan pada Rasulullah SAW. Dan persatuan dalam menjalankan syariat Islam. Dalam pelaksanaan sholat Idul Fitri maupun Idul Adha di lapangan seperti yang dilaksanakan di Jl. Teuku Umar tetap brlanjut bahkan hingga kini, meskipun yang dilaksanakan di alun-alun tidak berlanjut karena kurangnya kader yang memberikan pengawasan maupun yang memprakarsai.
Pada periode A. Hazim Amin (1978-1981), dibentuk beberapa Majelis seperti Majelis Tabligh, Majelis Pendidikan dan Pengajaran, Pembina Kesejahteraan Umat, dan Wakaf. Kala itu sudah berdiri 11 ranting yakni Bojonegoro Kota, Baureno, Sumberejo, Kanor, Kedungadem, Sugihwaras, Balen, Kapas, Kalitidu, Padangan, dan Ngraho. Konsolidasi organisasi terus dilakukan untuk menggelorakan semangat organisasi dan ghirah perjuangan. Berbagai kegiatan untuk membina SDM dilakukan seperti pembinaan internal maupun mengirim utusan keluar, seperti mengikuti pengkaderan di Gresik. Yang mengikuti kegiatan ini ada Kasnari, Sunhad, Suryanto (Balen), Alim Salamun (Kapas), dan Sutarjo (Kedungadem).
Pada periode A. Kasnari Hadi Santoso (1985-2000) dilakukan langkah konsolidasi kelembagaan dan kepemimpinan secara cepat, dikarenakan persyarikatan Muhammadiyah Bojonegoro mulai membutuhkan perhatian dan pengabdian yang serius, sementara jumlah amal usaha yang dimiliki juga semakin berkembang baik secara kualitas maupun kuantitas.
Periode Sjarwani Ihsan (2001-2005) menjadi masa yang cukup penting, karena amal usaha yang dimiliki sudah mulai banyak bertebaran. Sebut saja SPBU Syirkah Amanah dan pemancar radio Swara Madani FM berdiri. Pada masa kepemimpinan beliau, dimulai dengan melembagakan visi dan misi Muhammadiyah sebagai perwujudan penerapan agama Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk perkembangan cabang dan rantingnya sendiri, hingga tahun 2002 tercatat ada 15 cabang (3 dalam proses), dan 121 ranting. Cabang Bojonegoro kota sendiri didirikan oleh Mashudi (Mantan pengurus Masyumi, anggota DPRD Bojonegoro) pada 1963. Hingga tahun 2005, PCM Bojonegoro Kota sudah memiliki 14 ranting.